Minggu, 21 Juni 2009

Captopril dan hipertensi

Farmakologi:
Kaptopril terutama bekerja pada sistem RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron), sehingga efektif pada hipertensi dengan PRA (Plasma Renin Activity) yang tinggi yaitu pada kebanyakan hipertensi maligna, hipertensi renovaskular dan pada kira-kira 1/6-1/5 hipertensi essensial. Kaptopril juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal, bahkan juga pada hipertensi dengan PRA yang rendah. Obat ini juga merupakan antihipertensi yang efektif untuk pengobatan gagal jantung dengan terapi kombinasi lain. Kombinasi dengan tiazid memberikan efek aditif sedangkan kombinasi dengan b-blocker memberikan efek yang kurang aditif.

Indikasi:
Untuk pengobatan hipertensi sedang dan berat yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan kombinasi lain.Kaptopril dapat dipergunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lain terutama tiazid. Payah jantung yang tidak cukup responsif atau tidak dapat dikontrol dengan diuretik dan digitalis.

Kontraindikasi:
Hipersensitif terhadap kaptopril dan obat-obat ACE inhibitor lainnya.

Dosis:
Dewasa: Hipertensi : Dosis awal adalah 12,5 mg-25 mg, 2-3 kali sehari. Bila setelah 2 minggu belum diperoleh penurunan tekanan darah, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 50 mg, 2-3 kali sehari.
Gagal jantung : Dosis awal adalah 25 mg, 3 kali sehari, sebaiknya dimulai dengan 12,5 mg, 3 kali sehari.

Efek samping: Umumnya kaptopril dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dapat timbul adalah ruam kulit, gangguan pengecapan, neutropenia, proteinuria, sakit kepala, lelah/letih dan hipotensi. Efek samping ini bersifat dose related dengan pemberian dosis kaptopril kurang dari 150 mg per hari, efek samping ini dapat dikurangi tanpa mengurangi khasiatnya. Efek samping lain yang pernah dilaporkan: umumnya
asthenia
gynecomastia
Kardiovaskular : cardiac arrest, cerebrovascular accident/insufficiency, rhythm disturbances, orthostatic hipotension, syncope.
Dermatologi : bullous pemphigus, erythema multiforme exfoliative dermatitis.
Gastrointestinal : pankreatitis, glossitis, dispepsia.
Hepatobiliary : jaundice, hepatitis, kadang-kadang nekrosis, cholestasis.
Metabolit : symptomatic hyponatremia.
Musculoskeletal : myalgia, myasthenia.
Nervous/psychiatric : ataxia, confusion, depression, nervousness, somnolence.
Respiratory : bronchospasm, eosinophilic pneumonitis, rhinitis, blurred vision, impotence.
Seperti ACE inhibitor lainnya dapat menyebabkan sindroma termasuk: myalgia, arthralgia, interstitial nephritis, vasculitis, peningkatan ESR.

Peringatan dan perhatian:
Neutropenia/agranulositosis: Neutropenia akibat pemberian kaptopril (jumlah neutrofil kurang dari 1000/mm3) 2 kali berturut-turut, bertahan selama obat diteruskan, insidensinya 0,02% (1/4544) pada penderita dengan fungsi ginjal (kreatinin serum > 2 mg/dl), dan menjadi 7,2% (8/111) pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan penyakit vaskular kolagen seperti lupus (SLE) atau skleroderma. Neutropenia muncul dalam 12 minggu pertama pengobatan, dan reversibel bila pengobatan dihentikan (90% penderita dalam 3 minggu) atau dosisnya diturunkan.
Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan juga penderita yang mendapat obat-obat lain yang diketahui dapat menurunkan leukosit (obat-obat sitotoksik, imunosupressan, fenilbutazon dan lain-lain), harus dilakukan hitung leukosit sebelum pengobatan setiap 2 minggu selama 3 bulan pertama pengobatan dan periodik setelah itu. Mereka juga harus diberi tahu agar segera melapor kepada dokternya bila mengalami tanda-tanda infeksi akut (faringitis, demam), karena mungkin merupakan petunjuk adanya neutropenia.

Proteinuria/sindroma nefrotik: Proteinuria yang lebih dari 1 g sehari terjadi pada 1,2% (70/5769) penderita hipertensi yang diobati dengan kaptopril. Diantaranya penderita tanpa penyakit ginjal/proteinuria sebelum pengobatan, insidensinya hanya 0,5% (19/3573) yakni 0,2% pada dosis kaptopril < 150 mg sehari dan 1% pada dosis kaptopril > 150 mg sehari. Pada penderita dengan penyakit ginjal/proteinuria sebelum pengobatan, insidensinya meningkat menjadi 2,1% 946/2196), yakni 1% pada dosis kaptopril > 150 mg sehari. Sindroma nefrotik terjadi kira-kira 1/5 (7/34) penderita dengan proteinuria. Data mengenai insiden proteinuria pada penderita GJK belum ada. Glumerulopati membran ditemukan pada biopsi tetapi belum tentu disebabkan oleh kaptopril karena glumerulonefritis yang subklinik jugma ditemukan pada penderita hipertensi yang tidak mendapat kaptopril. Proteinuria yang terjadi pada penderita tanpa penyakit ginjal sebelumnya pengobatan tidak disertai dengan gangguan fungsi ginjal. Proteinuria biasanya muncul setelah 3-9 bulan pengobatan (range 4 hari hingga 22 bulan). Pada sebagian lagi, proteinuria menetap meskipun obat dihentikan. Oleh karena itu pada penderita dengan risiko tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan protein dalam urin sebelum pengobatan, sebulan sekali selama 9 bulan pertama pengobatan dan periodik setelah itu.

Gagal ginjal/akut: Fungsi ginjal dapat memburuk akibat pemberian kaptopril pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal sebelum pengobatan. Gejala ini muncul dalam beberapa hari pengobatan; yang ringan (kebanyakan kasus) reversibel atau stabil meski pengobatan diteruskan, sedangkan pada yang berat dan progresif, obat harus dihentikan. Gejala ini akibat berkurangnya tekanan perfusi ginjal oleh kaptopril, dan karena kaptopril menghambat sintesis A II intrarenal yang diperlukan untuk konstriksi arteriola eferen ginjal guna mempertahankan filtrasi glomerulus pada stenosis arteri ginjal. Gagal ginjal yang akut dan progesif terutama terjadi pada penderita dengan stenosis arteri tinggi tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal tunggal 93/8). Karena itu pada penderita dengan risiko tinggi tersebut, pemberian kaptopril harus disertai dengan monitoring fungsi ginjal (kreatinin serum dan BUN), dan dosis kaptopril dimulai serendah mungkin. Bila terjadi azotemia yang progresif, kaptopril harus dihentikan dan gejala ini reversibel dalam 7 hari.

Morbiditas dan mortalitas pada fetus dan neonatus:
Pemakaian obat penghambat ACE pada kehamilan dapat menyebabkan gangguan/kelainan organ pada fetus atau neonatus. Apabila pada pemakaian obat ini ternyata wanita itu hamil, maka pemberian obat harus dihentikan dengan segera. Pada kehamilan trimester II dan III dapat menimbulkan gangguan antara lain; hipotensi, hipoplasia-tengkorak neonatus, anuria, gagal ginjal reversibel atau irreversibel dan kematian. Juga dapat terjadi oligohidramnion, deformasi kraniofasial, perkembangan paru hipoplasi, kelahiran prematur, perkembangan, retardasi intrauteri, patenduktus arteriosus.

Bayi dengan riwayat dimana selama didalam kandungan ibunya mendapat pengobatan penghambat ACE, harus diobservasi intensif tentang kemungkinan terjadinya hipotensi, oliguria dan hiperkalemia.

Interaksi obat: Pemberian obat diuretik hemat kalium (spironolakton-triamteren, anulona) dan preparat kalium harus dilakukan dengan hati-hati karena adanya bahaya hiperkalemia. Penghambat enzim siklooksigenase sepeti indometasin, dapat menghambat efek kaptopril.

Disfungsi neurologik pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang diberi kaptopril dan simetidin.Kombinasi kaptopril dengan allopurinol tidak dianjurkan, terutama gagal ginjal kronik.

Kemasan dan Nomor Registrasi:

CAPTOPRIL 12,5 mg : kotak, 10 strip @ 10 tablet, GKL9705023010A1

CAPTOPRIL 25 mg : Kotak, 10 strip @ 10 tablet, GKL9705023010B1

CAPTOPRIL 50 mg : Kotak, 10 strip @ 10 tablet, GKL9705023010C1


http://www.dexa-medica.com/ourproducts/prescriptionproducts/detail.php?id=55&idc=8

Kamis, 18 Juni 2009

Rosella Sekuat Captopril

MENURUT data dari National Heart, Lung and Blood Association, hampir sepertiga warga negara Amerika menderita hipertensi. Hipertensi terjadi seperti sebuah selang kecil tipis berisi terlalu banyak air yang menekan. Bila terus menerus menekan, selang akan bocor dan selang bisa jadi bakal pecah.Hal yang sama juga bisa terjadi pada pembuluh darah. Tekanan yang begitu kerap atau intens bakal membahayakan organ-organ lain seperti ginjal, jantung menimbulkan masalah sehingga muncul stroke, kebutaan, dan lain-lainnya. Untuk mengontrol hipertensi, dokter biasanya merekomendasikan perubahan gaya hidup—olahraga, rileksasi, menghidari asupan garam—ditambah pengobatan. Selanjutnya, teh hibiscus bisa jadi tambahan terapi.
Tampaknya hibiscus atau yang kerap kita kenal sebagai bunga sepatu mampu menurunkan tekanan darah. sama seperti obat penurun tekanan darah, bunga berwarna merah juga kuning ini dikatakan dapat membuka pembuluh darah lebih lebar, menurunkan kekentalan darah dan meningkatkan produksi urin sehingga dapat mengurangi volum darah.Teh hibiscus dibuat dari bunga Hibiscus sabdariffa, kadang-kadang disebut Rosella atau Karkade. Dalam sebuah
penelitian yang dipublikasikan di Phytomedicine tahun 2004, para pasien minum setiap hari 10 gram bunga kering yang diseduh.Hasilnya menunjukkan bahwa teh ini dapat mengontrol hipertensi jenis ringan maupun sedang seefektif Captopril, obat yang biasa digunakan untuk mengatasi hipertensi dan gagal jantung.Hibiscus juga dikatakan bekerja cepat. Journal of Ethnopharmacology melaporkan bahwa setelah 12 hari, 31 pasien yang mengonsumsi teh Hibiscus rata-rata mengalami penurunan tekanan darah hingga 11,2 persen untuk tekanan sistolik dan 10,7 persen untuk tekanan diastolik.Normalnya, tekanan sistolik 120 dan diastolik 80, artinya teh hibiscus dapat menurunkan tekanan darah hingga kondisi normal selama kurang lebih tidak sampai dua minggu. Bagaimana para penderita hipertensi sebaiknya menggunakan herba ini?Ellen Kamhi, Ph.D, RN dan kawan penulis dari The Natural Medicine Chest (Evans & Co.,2000) merekomendasikan agar memberitahukan penggunaan herba ini kepada dokter sementara Anda menggunakan obat atau meninggalkan obat ini sambil mengecek tekanan darah setiap hari.“Rasio dan risiko penggunaan herba dalam hal ini tentu saja lebih aman dan lebih baik dibanding obat. Karena itu cobalah untuk menggunakannya,” ujar Ellen.
Sumber : http://rosellakita.blogspot.com/2008/05/rosella-sekuat-captopril.html

Selasa, 02 Juni 2009

Siapakah Rosella itu?


Bunga Rosela bukan hanya sebuah bunga yang sangat indah untuk dilihat, tapi juga sebuah tanaman yang memiliki manfaat yang sangat mempesona. kandunganya yang terdapat pada kelopak rosella dapat mencegah dan mengobati berbagai macam penyakit, diantaranya :
  • Hipertensi
  • Gula Darah
  • Panas Dalam
  • Sariawan
  • Sembelit
  • Asam Urat
  • Cholesterol
  • Dan mencegah Kanker Darah
Kelopak Bunga Rosella dapat diambil sebagai bahan Minuman segar berupa sirup dan tea, selai dan minuman, kelopak bunga tersebut mengandung viatmin C, vitamin A, dan Asam Amino yang di perlukan Tubuh, 18 Diantaranya terdapat dalam Kelopak Bunga Rosella, termasuk Arginin dan legnin yang berperan dalam proses peremajaan sel tubuh. selain itu, Rosella juga mengandung protein dan Kalsium.
Menurut DEP.KES.RI.No.SPP.1065/35.15//05, seriap 100gr Rosella mengandung :
  1. 260-280 mg Vitamin C
  2. Vitamin D,B1 dan B2
  3. Kalsium 486 mg
  4. Omega 3
  5. Magnesium
  6. Beta Karotin
  7. Asam Amino esensial (lysine dan agrinine)
Bunga Rosella juga kaya akan serat yang bagus untuk kesehatan saluran pencernaan.
Diantara berbagai macam jenis Rosella, ada dua jenis yang paling banyak di Indonesia, diantaranya Rosella Merah dan Ungu.
Yang membedakan Rosela Merah dan Ungu adalah :
Rosela Merah :
  1. Batang Pohon Hijau
  2. Kelopak Bunga Merah
  3. Cara Konsumsi, 10 Kelopak diseduh/digodok dengan 500cc air.
  4. Warna merah lebih asam (sebaikmua dikonsumsi setelah makan bagi yang kena maag)
Rosella Ungu :
  1. Batang pohon coklat
  2. kelopak bunga ungu tua, lebih besar, tebal, ujung panjang
  3. cara konsumsi hanya 5 kelopak diseduh atau digodok dengan 500 cc air, warna Merah Anggur sedikit Asam (lebih Aman)
Dari perbedaan tersebut, tentulah Rosella yang berwarna ungu memiliki keunggulan yang lebih dibanding dengan Rosella yang berwara merah.
Selamat mencoba, semoga anda terpesona dengan manfaat dan Khasiatnya.
Rosella "Si Cantik Yang Banyak Manfaatnya"